NasionalNews

Rancangan RUU Kesehetan dalam metode Omnibus Law Menjadi Perbincangan Hingga Menuai Pro Kontra

Rancangan RUU Kesehetan dalam metode Omnibus Law Menjadi Perbincangan Hingga Menuai Pro Kontra

Jakarta, www.sinarpaginews.net – Rancangan Undang – undang (RUU) Kesehatan yang dibuat dalam metode Omnibus Law, masih terus menjadi perbincangan hingga menuai pro dan kontra.

Waktu itu telah terjadi aksi demonstrasi pada Senin, 8 Mei 2023 lalu, Organisasi Profesi Kesehatan yang diwakili dokter dan tenaga kesehatan lainnya, melakukan aksi demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law, di Kawasan Monas, Jakarta Pusat, kemudian menuju ke Kantor Kementerian Kesehatan RI.

Dalam aksi demonstrasi tersebut, mereka menuntut pembahasan RUU Kesehatan dihentikan, karena dinilai masih memiliki banyak masalah.

Adapun yang terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut yakni ada lima organisasi profesi, antaralain;
– Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
– Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),
– Ikatan Bidan Indonesia (IBI),
– Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
– Persatuan dokter Gigi Indonesia (PDGI).

17 Organisasi Kesehatan Mendukung Pengesahan RUU Kesehatan

17 Organisasi Kesehatan Mendukung Pengesahan RUU Kesehatan

Sebanyak 17 organisasi tenaga kesehatan mendeklarasikan dukungannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan untuk segera disahkan.

Mereka menganggap perlu adanya reformasi pelayanan kesehatan dan memangkas persyaratan izin praktik tanpa keharusan rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bisa diakomodir dalam RUU Kesehatan.

Koordinator Koalisi Organisasi Tenaga Kesehatan, Judilherry Justam, waktu itu di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat, pada Minggu 7 mei 2023. Ia mengatakan, “dalam Undang – Undang (UU) terdahulu Dinas Kesehatan bahkan Menteri Kesehatan tidak dapat mengeluarkan izin praktik, tanpa adanya rekomendasi izin praktik dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang,” ucapnya.

Selanjutnya Judilherry memberi contoh, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dalam AD/ART-nya menyebutkan bahwa IAI adalah satu – satunya organisasi profesi untuk apoteker. Namun, tidak ada dasar hukum yang jelas menyebutkan IAI sebagai organisasi tunggal untuk apoteker.

Menurutnya, hal tersebut akhirnya menyulitkan para apoteker untuk melakukan praktik, karena selama ini urusan izin praktik terlalu memberikan kewenangan yang besar kepada organisasi profesi terutama IDI.

Berikut 17 organisasi profesi yang tergabung dalam mendukung Pengesahan Rancangan Undang – Undang (RUU) Kesehatan untuk segera disahkan,
yakni:
– Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan,
– Forum Dokter Susah Praktek,
– Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia,
– Farmasis Indonesia Bersatu,
– Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Indonesia,
– Siti Fadilah Foundation,
– Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia dan Masyarakat Farmasi Indonesia,
– FDSP Diaspora & Dalam Negeri,
– Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI)
– Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Indonesia (KAMPAK),
– Dewan Kesehatan Rakyat,
– Aliansi Apoteker dan Asisten Apoteker Peduli Negeri (AAPN),
– Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI)
– Farmasis Indonesia Bersatu (FIB)
– Lembaga Pemerhati Perawat Indonesia (LPPI),
– Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI),
– Forum Dokter Pejuang STR.

Berkaitan dengan demonstrasi yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan tersebut, Perhimpunan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) tetap mendukung penuh RUU Kesehatan.

Pakar Menilai, RUU Kesehatan Dibutuhkan Demi Perkuat Sistem Kesehatan Nasional

Meski ada penolakan dari sejumlah organisasi profesi tenaga kesehatan (nakes), namun RUU ini juga mendulang banyak dukungan dari kalangan medis. Karena dinilai sangat dibutuhkan dalam sistem kesehatan nasional, termasuk pada hal peningkatan kesehatan masyarakat.

“Kita memang sangat membutuhkan adanya Undang-undang (UU) yang mewakili sistem nasional kesehatan kita, karena selama ini sistem regulasi yang ada itu fragmented parsial dan kadang tidak harmonis antara satu kebijakan dengan kebijakan lain,” kata Pakar dan Pengamat Kebijakan Kesehatan, dr Hermawan Saputra dalam keterangannya, dikutip. Jumat (9/6/2023).

Menurut Hermawan, banyak regulasi setara RUU Kesehatan yang tidak bisa mewakili dan menjamin pelayanan kesehatan atau upaya perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia. Dia memberi contoh, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di mana sistem kesehatan sendiri justru diatur dalam level Peraturan Presiden (Perpres).

“Beda dengan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang mana UU yang mengatur. Jadi ada fragmen-fragmen tersendiri di sistem kesehatan kita sekarang. Ini baru kita lihat dari situasi makro,” jelas Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut.

Dengan metode Omnibus Law, kata Hermawan, RUU Kesehatan akan menyederhanakan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai sistem kesehatan di Indonesia.

Penggunaan metode Omnibus Law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan juga mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Tak hanya itu, UU secara Omnibus Law yang dibentuk menggunakan cara modifikasi pun dinilai menjadikan peraturan perundang-undangan yang dapat beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.

Hermawan menilai, omnibus law dalam RUU Kesehatan dapat menjadi aturan rigid yang komprehensif mengatur sistem kesehatan nasional. Termasuk dalam hal praktek kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan praktek tenaga medis lainnya yang saat ini aturannya berdiri sendiri-sendiri.

“Jadi perlu diharmonisasi dan disinkronisasi. Belum lagi jika kita kaitkan lagi tentang UU yang lebih tua yaitu tentang obat. Aturan itu ada dari tahun 1949. Ada juga UU No 4 tahun 1984 tentang wabah, itu kan sudah lama sekali dan patut kita sesuaikan dengan konteks terkini,” tandas Hermawan.(Red)

Related Articles

Back to top button